Meramal Demokrasi Indonesia di Era Prabowo

May 8, 2024 - 21:44
 0
Meramal Demokrasi Indonesia di Era Prabowo
Rizky Adhyaksa, Mahasiswa Master Ilmu Politik UIII

SUARA3NEWS, OPINI - Dengan usainya pemilu serentak 2024, satu pertanyaan agaknya masih membayang-bayangi masa depan Indonesia. Lebih tepatnya, pertanyaan terkait masa depan demokrasi Indonesia. Prabowo yang keluar sebagai pemenang melemahkan kepercayaan banyak pihak terkait masa depan demokrasi Indonesia. Tidak sedikit yang telah pupus harapan, seraya mengibarkan bendera putih pada Orde Baru 2.0. Namun, melalui tulisan ini saya hendak mengembalikan rasa “PD” para pandit-pandit demokrasi yang katanya kebebasan berpendapatnya “terancam.” 

Demokrasi dan Pelaku Politik

Perlu untuk kita luruskan apa sebenarnya barang import yang kita sebut “demokrasi”? Demokrasi tidak lebih dari sekadar aturan main dalam memilih pemimpin yang mana semua orang dewasa di dalam negara terlibat (universal suffrage). Umumnya, aturan main yang digunakan adalah pemilu, karena hanya dengan cara inilah semua orang dewasa bisa terlibat secara efisien. Di Indonesia, kita menitipkan tugas menyaring calon-calon yang akan berkontestasi di pemilu kepada partai politik (parpol). Tentu saja, parpol tidak bisa menelurkan malaikat sebagai kader, tetapi mustahil pula bagi parpol untuk mengkader iblis. Pada akhirnya, yang berkontestasi adalah manusia yang punya visi kenegaraan plus nafsu pribadi.

Demokrasi bukan kesejahteraan rakyat. Demokrasi juga bukan pemerataan kekayaan. Demokrasi mensyaratkan penegakkan hukum, tapi bukan berarti hukum tidak bisa dirubah—sebagaimana diketahui oleh semua yang sedang menjadi wakil rakyat. Hukum yang adil memang didambakan, namun ia tidak datang sepaket dengan demokrasi. Di titik ini, saya harap pembaca dapat membedakan perbedaan antara “demokrasi” dengan “harapan” berdemokrasi.

Kelompok yang paling memiliki akses untuk mencalonkan diri dalam kontestasi pemilu adalah elite (yang memiliki kekuasaan atau yang memiliki uang dalam jumlah besar). Semua elite pasti ingin mempertahankan dan/atau memperluas kekayaan. Hal ini dapat dicapai dengan menempuh berbagai cara. Menambah jumlah uang yang dapat dimobilisasi, naik jabatan dari gubernur ke presiden, menjadi ketua partai, semua adalah contoh riil upaya meningkatkan kekuasaan. Seseorang yang masih menjadi Bupati malam ini akan bermimpi untuk menjadi Gubernur di pemilu mendatang. Seseorang yang telah menjabat dua periode sebagai Presiden, lazim mencari cara agar dapat memperpanjang masa jabatan ke periode ke tiga. Semua pelaku politik hakikatnya bersifat predator.

Meskipun bukan satu-satunya, pemilu merupakan elemen penting dalam demokrasi. Kebebasan berpendapat merupakan hal yang penting untuk keberlangsungan pemilu. Tanpanya, pemilu hanya akan menjadi ajang seremonial. Sekurang-kurangnya, demokrasi mensyaratkan kompetisi dalam pemilu. Menentukan visi kenegaraan dengan melibatkan semua orang dewasa hanya bisa dilakukan melalui pemilu. Tentu saja selalu ada suara-suara yang akan dibungkam oleh penguasa, namun pemilu serentak 2024 menunjukan bahwa Tingkat kebebasan berpendapat kita masih bermakna.

Tulang Punggung Demokrasi Indonesia

Di Indonesia, parpol memiliki hak eksklusif atas pemilu. Satu-satunya organisasi yang sah untuk berkontestasi dalam pemilu (mencalonkan presiden, gubernur, bupati/wali kota, dan anggota legislatif) adalah parpol. Oleh karena itu, demokrasi kita hari ini bertumpu pada parpol. Jika kita puas dengan kinerja Jokowi, maka seharusnya kita percaya dengan calon PDIP selanjutnya. Tentu saja, realita politik Indonesia lebih kompleks dari ini.

Masyarakat tidak percaya dengan parpol, melainkan dengan tokoh. Kepuasan terhadap Jokowi membuatnya memiliki otoritas yang cukup besar. Konsekuensinya, ke mana Jokowi melabuhkan dukungan politiknya akan sangat menentukan. Prabowo adalah contoh nyata dari keampuhan Jokowi dalam menggaet masa. Akan tetapi, bulan madu Jokowi dengan Prabowo sejatinya telah berakhir.

Masa Depan Politik Jokowi

Sebagaimana telah saya sampaikan, Jokowi adalah orang yang ingin memperpanjang waktunya berkuasa. Apalagi, ia bukanlah ketua partai yang punya previlise untuk menentukan siapa yang akan berkontestasi. Upaya Jokowi untuk memperpanjang masa jabatannya tidak membuahkan hasil, persis karena bukan ia seorang di republik ini yang ingin duduk di Istana. Masih banyak politis dan negarawan yang juga ingin duduk di puncak kepemimpinan negara ini. Hal inilah yang membuat Jokowi harus pension sebagai Presiden.

Pensiun sebagai presiden tidak sama dengan purna tugas sebagai politisi. Ia masih harus mencari partai mana yang mau menerimanya sebagai nahkoda. Di Indonesia, Ketua Parpol sejatinya memiliki kekuasaan yang tidak dapat periksa akuntabilitasnya. Satu-satunya hal yang mendisiplinkan perilaku partai adalah pertanyaan menang pemilu atau tidak? Setelah menang, sampai dua periode tidak? Jika khusnul Khotimah hingga akhir dua periode, pertanyaan selanjutnya adalah menang lagi atau tidak? Inilah cara melanggengkan kekuasaan politik di Indonesia. Saya yakin Jokowi lebih paham.

Masa Depan Demokrasi Indonesia di Era Prabowo

Siapa sebenarnya Prabowo yang disebut-sebut akan memporak-porandakan demokrasi Indonesia ini? Saya kira pertanyaan ini sudah dijelaskan oleh banyak orang. Prabowo sejatinya hampir menyentuh posisi apex dalam politik Indonesia di penghujung Orde Baru. Situasi politik memaksanya untuk mengasingkan diri beberapa tahun sebelum ia kembali untuk berkontestasi melalui jalur formal. Terlepas dari apa yang ditakutkan banyak orang, Prabowo kembali ke arena politik Indonesia melalui jalur-jalur formal. Ia mendirikan partai yang secara sah berkontestasi dalam pemilu. Ya, Prabowo acap kali menyatakan oposisinya terhadap sistem demokrasi saat ini. Namun, apa yang dilakukannya selama ini adalah mematuhi aturan formal.

Pertanyaan lanjutan: apakah Prabowo akan menghancurkan sistem yang membuatnya naik tahkta? Hal ini tentu sangat mungkin, karena sistem saat ini membatasi waktunya untuk berkuasa. Rekam jejaknya kelamnya terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga mendukung dugaan ini. Meskipun pertanyaan ini valid, saya rasa pertanyaan ini salah sasaran jika kita ingin menerka-nerka Demokrasi Indonesia 5 tahun ke depan.

Coba saya ajukan pertanyaan yang lebih mungkas: apakah aktor-aktor politik lain akan membiarkan Prabowo menghancurkan demokrasi? Siapapun yang menyatakan oposisi terhadap administrasi Prabowo tidak akan membiarkan hal tersebut, tapi begitu juga dengan partai-partai yang berada dalam koalisi Prabowo. Bersatu dalam koalisi politik tidak sama dengan menyerahkan loyalitas tanpa batas. Bagi partai-partai besar di Indonesia, tidak ada hal yang lebih penting daripada menjaga akses terhadap puncak kekuasaan tetap terbuka. Bahkan jika demokrasi tidak ada, politisi tetaplah politisi—yang selalu mengintip dan mencari cara menggenggam kekuasaan.

Izinkan saya membongkar amnesia politik para pembaca. Pertimbangkan sikap Golkar pada Krisis finansial 98. Partai yang memenangkan Soeharto berkali-kali, nyatanya meminta agar Soeharto turun takhta. Ingat pula siapa yang melengserkan Gus Dur; nyatanya Wakil Presidennya sendiri, Megawati Soekarnoputri. Lalu siapa yang mengalahkan Megawati dalam pemilu 2004? Jawabannya adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara. Siapakah yang memastikan Jokowi memenangkan posisi Gubernur Jakarta 2012? Prabowo Subianto.

Argumen saya sangat sederhana. Demokrasi Indonesia, secara relatif, akan baik-baik saja karena alasan yang sama mengapa Jokowi tidak berhasil memperpanjang periode jabatannya. Tidak ada ketua Parpol, baik di dalam koalisi maupun oposisi, yang akan membiarkannya. Hal yang sama akan dialami oleh Prabowo tatkala ia tidak puas dengan Demokrasi Indonesia hari ini. Sebagai bonus, Jokowi tidak akan tinggal diam tatkala peluang Gibran untuk menjadi Presiden—setidaknya—10 tahun kedepan ditutup. Prabowo harus menahan birahi politiknya sembari mencoba untuk berpuas diri dengan pemilu rutin yang masih dijunjung oleh ketua-ketua partai.

Bertaruh pada Demokrasi

Semua ini bukan berarti saya tidak sadar bahwa demokrasi Indonesia sedang dalam ancaman. Manuver elite politik kelas kakap akan selalu berusaha merongrong demokrasi, meskipun sistem tersebutlah yang mengantarkannya di posisi tertinggi. Prabowo sepertinya merupakan ancaman terbesar demokrasi Indonesia paska reformasi. Namun, sulit membayangkan para Korea yang masih belum mencicipi nikmatnya takhta kenegaraan untuk bersedia menyerahkan satu-satunya peluang yang mereka miliki. Demokrasi Indonesia memang sedang dalam pertaruhan. Kendati demikian, saya menaruh semua chip poker saya pada kelangsungan demokrasi Indonesia. All in Boss.

Rizky Adhyaksa

Penulis adalah Mahasiswa Master Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia