Tak Ada Masa Kadaluarsa, Aktivis HAM Sebut Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat ‘97-’98 Lanjut Terus

SUARA3NEWS, JAKARTA - Sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) mempertanyakan etika politik dari pertemuan antara korban dan keluarga korban penculikan pada tahun 1997/1998 bersama dengan petinggi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad awal Agustus yang lalu di Hotel Fairmont.
Merespon hal itu maka Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) mengadakan jumpa pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, Kamis (15/8/2024).
Bagi mereka pertemuan tersebut bukanlah silahturahmi kebangsaan namun tak lebih hanya sebagai politik transaksional dan cara seperti itu tidak akan menghapus tanggungjawab negara untuk menggelar proses hukum atas pelanggaran HAM berat dalam kasus penculikan dan penghilangan paksa para aktivis tahun 1997/1998.
Menurut Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International dan juga Dewan Penasehat IKOHI, keluarga korban memiliki hak atas keadilan, hak atas kebenaran, hak atas pemulihan serta hak atas jaminan agar kasus pelanggaran HAM tidak diulangi kembali.
Anggota Dewan Penasehat IKOHI Usman Hamid bersama Sekum Badan Pekerja IKOHI Zaenal Muttaqien (kiri), saat hadir dalam konfrensi pers " Tolak Politik Transaksional Untuk Pelanggaran HAM Berat Penghilangan Paksa Aktivis 1997 dan 1998 di Gedung YLBHI, Jakarta. IKOHI dalam keterangan persnya menegaskan pemberian uang tidak akan dapat menghapus tanggung jawab negara utk menggelar proses hukum atas pelanggaran HAM berat dalam kasus penculikan dan penghilangkan paksa aktivis 1997/1998 (foto : An Mei)
“Konvensi PBB telah menyatakan bahwa kejahatan penghilangan paksa adalah kejahatan yang masih terus berlangsung. Jadi selama kejelasan nasib dan keberadaan mereka yang hilang belum ditemukan, maka selama itu pula kejahatan itu dalam hukum internasional masih dipandang terus berlangsung,” ujar Usman Hamid.
Dijelaskan oleh Usman bahwa penghilangan paksa bukan kejahatan biasa, karena itu ketika sudah ditetapkan sebagai kejahatan kemanusiaan maka tidak bisa diputihkan akibat masa kadaluarsa yang sudah puluhan tahun.
Dirinya juga menambahkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab terhadap nasib korban yang hilang dan keluarga korban masih melekat pada Pemerintah dan DPR.
“Maka dalam peristiwa penculikan dan penghilangan paksa para aktivis tahun ‘97/’98 dan pertemuan di Hotel Fairmont tidak bisa dijadikan alasan untuk memutihkan kewajiban negara agar tetap menuntut pelakunya ke pengadilan dan menghukum mereka serta tetap mencari tentang kebenaran dan fakta-fakta nasib mereka yang hilang,” beber Usman Hamid.
Di tempat yang sama, Wilson salah satu anggota Dewan Penasehat IKOHI yang hadir dalam konferensi pers ini juga menegaskan bahwa kasus hukum terhadap Presiden terpilih Prabowo belum berhenti.
“Saya ingin mengatakan bahwa dengan pertemuan yang menghasilkan tali kasih terhadap korban dan keluarga korban dari petinggi Partai Gerindra bukan berarti kasus hukum pertanggungjawaban Prabowo jadi terhenti. Sebab dalam undang-undang nomor 26 tahun 2000 pasal 46 dinyatakan bahwa penanganan kasus pelanggaran HAM berat tidak mengenal kadaluarsa,” ucap Wilson.
Anggota badan pengawas IKOHI Wilson mengecam adanya upaya pertemuan secara tertutup sejumlah keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998 dan petinggi Partai Gerindra yang memanfaatkan kerentanan struktural sosial ekonomi keluarga korban dan kelelahan fisik dan mental akibat perjuangan panjang puluhan tahun tanpa kepastian keadilan dari negara (Foto : An Mei)
Oleh karena itu IKOHI mendorong kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat untuk terus menuntut tanggung jawab pemerintah melalui pembentukan pengadilan ad hoc HAM.
IKOHI sebagai lembaga pembela HAM dan komunitas korban pelanggaran HAM berat akan tetap melakukan advokasi hak-hak korban (hak atas keadilan, hak atas kebenaran, hak atas pemulihan dan jaminan ketidakberulangan).
Hal itu berguna untuk mencari kejelasan nasib dan keberadaan aktivis yang hilang, memulihkan hak-hak para korban, dan meratifikasi Konvensi PBB Tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, sesuai empat rekomendasi DPR RI tahun 2009.
Saat ini upaya penanganan kasus pelanggaran HAM di era Presiden Jokowi sangat gelap dan berliku. Janji Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM berat belum ada yang dapat diungkap ke pengadilan.
12 peristiwa HAM berat sudah diakui oleh Jokowi termasuk kasus penculikan aktivis tahun 1997/1998 dan kerusuhan Mei 1998 yang menewaskan mahasiswa dinilai belum memberikan rasa keadilan bagi korban maupun keluarga korban.
Usman Hamid dalam keterangannya dalam konfrensi pers " Tolak Politik Transaksional Untuk Pelanggaran HAM Berat Penghilangan Paksa Aktivis 1997 dan 1998 di Gedung YLBHI, Jakarta mengatakan pelanggaran berat HAM tidak mengenal kadaluwarsa atau berakhirnya batas waktu penuntutan, kesalahan pelakunya tidak bisa diampuni dengan amesti atau atas alasan perintah atasan atau atas dalil pernah ada pengadilan yang digelar, sampai kapanpun negara tetap wajib untuk menghukum pelaku utamanya (Foto : An Mei)
Masalah demi masalah timbul akibat upaya pemerintah yang belum mengedepankan pertanggungjawaban hukum dan kepastian bahwa kasus pelanggaran HAM berat tidak diulangi kembali.
Terlebih sikap pemerintah yang hanya menginginkan penyelesaian non-yudisial berakibat munculnya spekulasi bahwa kasus pelanggaran HAM berat akan diputihkan dengan hadirnya Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) berat masa lalu.
Hadirnya Tim PP HAM yang ditindaklanjuti dengan Inpres nomor 2 tahun 2023 dianggap belum mampu membawa rasa keadilan bagi korban maupun keluarga korban.
Salah satu keluarga korban yang anaknya hilang dalam peristiwa penculikan aktivis tahun ‘97/’98 mengatakan bahwa mereka hanya mendapatkan santunan sebesar 900 ribu per bulan dari pemerintah serta jaminan kesehatan yang prioritas.
Hal itu jauh dari keinginan kompensasi, rehabilitasi, atau restitusi yang diminta keluarga korban kepada negara agar dapat bertanggung jawab terhadap kasus yang dialami oleh mereka.
Saat ini penuntasan kasus pelanggaran HAM berat sedang berada di persimpangan jalan. Presiden terpilih Prabowo sedang dihadapkan dengan mekanisme yudisial dan non-yudisial.
Estafet kepemimpinan Jokowi kepada Prabowo sudah di depan mata. Mengutip apa yang telah disampaikan Prabowo dalam salah satu debat capres.
“Saya merasa bahwa saya yang sangat keras membela hak asasi manusia, nyatanya orang-orang yang dulu ditahan, tapol-tapol yang katanya saya culik, sekarang ada dipihak saya, membela saya saudara-saudara sekalian,” ujar Prabowo dalam debat perdana calon presiden.
Saat itu Prabowo juga menyatakan, jika perlu ada pengadilan HAM ad hoc, ia akan membentuk itu.
“Jadi kalau memang, keputusannya mengadakan pengadilan HAM, kita adakan pengadilan HAM, enggak ada masalah,” kata Prabowo.