Sumarsih Tak Bergeming Tawaran Fasilitas dan Uang Di tengah Isu “Perdamaian” Keluarga dan Korban Pelanggaran HAM Berat Tahun ‘97-’98

SUARA3NEWS, JAKARTA - Beberapa waktu yang lalu telah terjadi pertemuan penting antara petinggi Partai Gerindra dan keluarga orang hilang serta para aktivis korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1997-1998.
Dalam akun Instagramnya, Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad dan Waketum Gerindra Habiburokhman menyebut pertemuan bersama 14 keluarga korban kasus penculikan dan aktivis ‘98 merupakan silahturahmi kebangsaan.
KontraS memiliki pandangan yang berbeda. Dalam siaran persnya pertemuan tersebut tak lebih dari upaya sistematis untuk menutup pertanggungjawaban sehubungan dengan dugaan keterlibatan Prabowo dalam penghilangan orang secara paksa 1997-1998.
Padahal pelapor khusus PBB menggarisbawahi tidak ada “jalan pintas” untuk rekonsiliasi sosial, karena rekonsiliasi di tingkat masyarakat hanya dapat dicapai secara berkelanjutan melalui langkah-langkah kebenaran, keadilan, reparasi dan jaminan tidak terulang di antara kebijakan reformasi lainnya.
Maria Catarina Sumarsih Ibunda Wawan Korban Pelanggaran HAM Berat 1998 saat aksi kamisan di depan Istana Negara menuntut penyelesaian kasus penembakan anaknya (foto : An Mei)
Berbeda dengan keluarga korban yang lain, Maria Catarina Sumarsih ibunda dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan) mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi saat peristiwa Reformasi 1998, masih konsisten berjuang dan menuntut keadilan.
Sumarsih tetap berada di garis depan perjuangan melakukan Aksi Kamisan di depan Istana untuk selalu mengingatkan bahwa kasus pelanggaran HAM berat yang dialami anaknya belum dituntaskan walaupun pemerintahan terus berganti.
Aksi Kamisan dilakukan untuk merespon pernyataan Presiden yang meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan selama menjabat. Bagi korban pelanggaran HAM berat belum ada upaya merealisasikan janji dan komitmen yang disampaikan oleh Presiden Jokowi (Foto: An Mei)
Saat ditemui dalam Aksi Kamisan (8/8/2024) yang lalu, Sumarsih menyampaikan bahwa tawaran ‘perdamaian’ dengan iming-iming sejumlah uang dan fasilitas sudah sering ia dengar bahkan dapat dibuktikan kebenarannya.
“Bukan hanya tawaran uang saja, dulu-dulu juga ada keluarga korban yang telah mendapatkan bantuan pergi haji dengan fasilitas sistem terbaik ONH Plus,” ujar Sumarsih, Kamis (8/8/2024).
Merespon beberapa aktivis dan keluarga korban yang bertemu dengan petinggi Partai Gerindra dirinya menyebut hal itu sebagai sesuatu yang biasa. Bagi Sumarsih perjuangan belum selesai dan akan muncul penghianat-penghianat atau ia menyebutnya sebagai reformis gadungan.
“Perjuangan belum selesai, tapi banyak kawan-kawan yang meninggalkan perjuangan, mereka sudah tidak tahan lapar dan haus,” ujar Sumarsih menirukan ucapan almarhum Wawan.
Sosok ibu yang juga mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien Award tahun 2004 ini masih bertahan dengan keteguhan hatinya bahkan menolak diberikan bantuan dan santunan duka pasca tewasnya Wawan salah satu pahlawan Reformasi.
Sumarsih juga bercerita, menjelang Pemilu beberapa kali dirinya pernah diminta oleh seseorang supaya dapat dipertemukan dengan Prabowo Subianto dan membicarakan kasus yang dialami oleh Wawan.
Namun bagi Sumarsih, cinta terhadap Wawan tidak bisa ditukar dengan sejumlah uang atau fasilitas yang diberikan oleh penguasa sebagai upaya menghilangkan kasus pelanggaran HAM berat yang dialami anaknya.
Saat ini sejumlah masyarakat sipil yang melakukan aksi kamisan menuntut reailisasi janji-janji Jokowi untuk korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat sejak masa kampanye hingga penghujung akhir masa jabatan (Foto : An Mei)
Kini harapan tentang penuntasan kasus pelanggaran HAM berat tahun 1997-1998 saat ini menjadi sangat ‘gelap dan berliku’.
“Saat pertengahan Jokowi memerintah di periode pertama dan mengangkat Wiranto menjadi Menkopolhukam saya sudah tidak lagi percaya kepadanya. Apalagi dengan pemerintahan Pak Prabowo Subianto, saya belum mendengar dan tidak membaca dalam kampanye tentang penuntasan kasus pelanggaran HAM berat tahun ‘97-’98,” jelasnya.
Walaupun demikian dengan pemerintahan baru kedepan, Sumarsih tetap berharap bahwa perjuangan yang dilakukan dengan melakukan aksi setiap hari kamis, agar tidak direspon dengan menggunakan kekerasan oleh aparat.
Sikap selalu konsisten dan tidak menerima iming-iming uang yang dilakukan oleh Sumarsih adalah bagian dari melanjutkan perjuangan almarhum Wawan untuk menjalankan agenda reformasi.
“Cinta saya terhadap anak saya, cinta saya kepada Wawan menyemangati langkah saya, melanjutkan perjuangan yang belum selesai dengan mewujudkan agenda reformasi dengan menegakkan hukum dan HAM,” ujarnya.
Kini Sumarsih akan setia menunggu dengan berjuang dan berharap peristiwa penembakan Semanggi 1 dan 2 pada tahun 1998 akan dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc serta mendapatkan keadilan.