Dingga : “Kepada Negara Saya Bertanya, Dimana Bapakku Berada?”

Oct 1, 2024 - 00:30
 0
Dingga : “Kepada Negara Saya Bertanya, Dimana Bapakku Berada?”
Dingga (31th) anak dari Yani Afri korban penghilangan orang secara paksa pada tahun 1997 (foto : An Mei)

SUARA3NEWS, Jakarta - Tak banyak orang kenal dengan nama Yani Afri, nama seorang sopir angkutan kota (angkot) yang aktif dan tergabung menjadi simpatisan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Pro Megawati di wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara pada era menjelang kejatuhan Suharto.

Yani Afri disebut sebagai salah satu korban penculikan pada tahun 1997 dan hingga kini hilang serta keberadaannya belum ditemukan. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS), Yani diketahui pamit kepada istri dan ibunya kemudian berangkat dari rumah pada 26 April 1997. 

KontraS melaporkan bahwa Yani bersama teman-temannya saat itu akan menuju rumah salah seorang pengurus PDI kubu Megawati dengan titik kumpul di sekitar Mal Kelapa Gading. Setelah menunggu hingga malam hari, bersama tiga orang kawannya, Yani disergap dan ditangkap kemudian ditahan di Kodim Jakarta Utara.     

Yani Afri meninggalkan dua orang anak dan salah satunya bernama Hardingga atau biasa dipanggil Dingga. Kini Dingga telah berumur 31 tahun dan penantian panjang mencari kebenaran hilangnya bapaknya belum menemukan titik terang.

Herdingga bersama foto sang bapak (kiri) dalam salah satu kegiatan bersama pegiat Hak Asasi Manusia 

Cerita mencari bapak dimulai saat Dingga berumur 5 tahun. Pasca penculikan yang menimpa Yani Afri, keluarga Dingga mengalami banyak tekanan baik secara ekonomi, maupun psikis. Ibunda Dingga mengalami trauma yang cukup dalam akibat peristiwa tersebut.

“Ibu menarik saya yang saat itu berusia 5 tahun dari keluarga bapak, karena peristiwa itu ibu mengalami trauma dan ketakutan serta mendapatkan stigma yang tidak baik. Suaminya dianggap membuat huru-hara atau kerusuhan dari peristiwa Kudatuli,” ucap Dingga.

Selama bertahun-tahun Dingga merasa sudah terbiasa hidup tanpa bapak dan merasa menjadi anak yatim serta tidak tahu apa yang terjadi. Hingga pada usia 15 tahun, tepatnya pada tahun 2008 sebelum ibu meninggal sebuah informasi tentang bapak terucap dari ibu.

“Mohon maaf Dingga, bahwa selama ini telah menutupi keberadaan bapak. Bapakmu tidak bisa dibilang mati. Kamu masih punya keluarga dari bapakmu,”ujar Dingga menirukan ucapan sang ibu.

Setelah ibu meninggal, pencarian tentang bapak mulai dilanjutkan. Dingga bertemu neneknya yang bernama Tuti Koto salah satu dari penggagas KontraS yang berkumpul dalam komunitas keluarga orang hilang. Dari situlah akhirnya informasi dan titik terang akan nasib bapaknya diketahui sedikit demi sedikit.  

Saat ini Dingga sebagai keluarga orang hilang juga berkumpul dengan beberapa aktivis pegiat HAM Indonesia untuk menyuarakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Bagi Dingga, berjuang menyuarakan suara korban pelanggaran HAM adalah langkah yang harus dijalankan agar tidak ada lagi orang Indonesia yang bernasib seperti dirinya. 

Di tengah “rekonsiliasi” keluarga korban dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto lewat pertemuan di Hotel Fairmont Jakarta awal agustus yang lalu antara keluarga korban dan Sufmi Dasco Ahmad, Dingga merasa bahwa peristiwa itu tidak dapat dijadikan ukuran penyelesaian kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997/1998 sudah dianggap selesai.

Lewat keluarga korban orang hilang dan penghilangan paksa tahun ‘97/’98 yang lain, Dingga juga pernah ditawari untuk menerima sejumlah uang dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM non-yudisial. 

“Saya merasa bapak saya butuh pertolongan, jikalau keluarga korban yang lain menerima tali kasih yang diberikan, saya ijin untuk tidak menerimanya. Saya hanya ingin mengetahui dimana keberadaan dan kejelasan bapak saya. Jika sudah meninggal dimana lokasinya, supaya saya bisa nyekar dan mendoakan,” tegas Dingga.

Pilihan untuk menolak tunduk menjadi pilihan yang tidak mudah. Apa yang menjadi harapan Dingga untuk menemukan kejelasan Yani Afri semakin sulit. Suara-suara keluarga korban penculikan tahun 97/98 sudah semakin lirih dan hampir tak terdengar. 

“Aku seperti sendirian, ketika menolak berbagai tawaran dan tidak menerima penyelesaian lewat negara, aku merasa semua mata tertuju kepadaku. Apalagi bagi saya hidup tidak sekedar tentang uang, namun suara-suara keluarga korban akan kebenaran dan kejelasan yang hilang tetap harus diperjuangkan,” terangnya.

“Saya berharap ada keajaiban dari kasus ini dan ada proses persidangan, dan juga berharap kepada Prabowo Subianto supaya dapat membuka kebenaran dan kejelasan orang-orang yang hilang pada tahun 97/98 sebagai islah atas peristiwa masa lalu. Saya meyakini bahwa kebenaran akan mencari jalannya sendiri,” tambahnya.

Dingga saat bernyanyi di aksi kamisan sebagai wujud protes atas pelanggaran HAM yang terjadi (foto : An Mei)

Sebagai informasi, sejak 2011, tanggal 30 Agustus ditetapkan sebagai Hari Korban Penghilangan Orang Secara Paksa Internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di Indonesia praktik penghilangan orang secara paksa terjadi di beberapa daerah dalam kurun waktu pemerintahan orde baru.

Saat ini masih banyak keluarga korban orang hilang menuntut hak pemulihan kepada negara secara berkeadilan. Seperti Dingga, kini dia mempunyai tekad untuk secara perlahan membuka tabir kasus yang menimpa bapaknya. Ia ingin melanjutkan perjuangan neneknya saat mencari anaknya yang hilang yaitu Yani Afri.

Apa yang dialami Dingga juga banyak dialami oleh anak-anak korban yang lain. Apalagi saat orang tuanya hilang, mereka sangat kecil sehingga tak mampu memahami persoalan dan mendapatkan akses terhadap keadilan. 

"Bila ada momen pertemuan dengan Pak Prabowo dan duduk bersebelahan, saya hanya ingin melontarkan satu pertanyaan dimana keberadaan bapak saya, hanya itu," tutup Dingga di akhir wawancara

Dingga saat ditemui di sanggar pematung Dolorosa Sinaga, di bilangan Jakarta Timur. Saat ini Dingga aktif berkesenian bersama kawan-kawan pegiat HAM lainnya dalam menyuarakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM (Foto : An Mei)